Di depan bangunan tua itu, puluhan sepeda motor berbaris rapi. Di sekitarnya lapak-lapak pedagang kaki lima “mencuri” trotoar untuk menggelar dagangan. Keramaian ini tak henti sejak pukul delapan pagi hingga enam sore. Hiruk pikuk kian memuncak kala melewati pintu utama bangunan. Orang lalu lalang di sekitar ruangan dengan urusannya masing-masing. Sebagian lain masih mengantri, menunggu giliran.
Inilah Kantor Pos Besar Medan. Terletak di bagian utara Esplanade, Lapangan Merdeka atau Merdeka Walk sekarang, bangunan ini masih berdiri kokoh. Usianya lebih dari seratus tahun. Sejak 1911, bangunan ini menjadi saksi bisu perkembangan negeri Medan.
Meski sudah berusia lebih dari seratus tahun, Kantor Pos Besar ini masih terus mencoba bernapas. Sejak jaman kejayaan tembakau Kesultanan Deli di Medan pada masa perdagangan Belanda dan negara-negara Eropa lain, lalu masa Negara Sumatera Timur (1947-1950), kemudian Republik Indonesia Serikat (1949-1950), sampai era Negara Kesatuan Republik Indonesia (1950-saat ini), ia masih menampung segala aktivitas padat pelayanan jasa pengiriman. Dan di jaman ini, bangunan-bangunan bersejarah semacam Kantor Pos Besar ini mulai tenggelam di antara pemandangan bangunan-bangunan pencakar langit.
Medan semakin berkembang pesat sejak perkebunan menjadi usaha utama di Tanah Deli ini, sekitar akhir 1800-an. Nienhuys, pemimpin perusahaan perkebunan dari Belanda di Medan saat itu, memproduksi tembakau Deli yang kualitasnya kemudian terkenal ke seluruh Eropa. Tembakau inilah yang kemudian mengangkat nama Medan ke pentas dunia, dan membawanya ke arah pembangunan yang lebih maju. Dan gelombang para pendatang dari berbagai negeri pun mulai memasuki Medan.
Di masa itu, Nienhuys dan pengusaha-pengusaha tembakau lain dari Eropa banyak bekerjasama dengan Kesultanan Deli untuk membangun perusahaan. Mereka menyewa lahan untuk membangun perusahaan-perusahaan yang mendukung operasionalisasi perdagangannya. Adapun buruh–buruh perkebunannya diambil dari tiga negeri, yakni Cina, Jawa, dan India. Sedangkan pribumi yang bekerja pada perusahaan-perusahaan ini minimal bekerja sebagai apa yang populer disebut dengan ‘adm’ (administrasi).
Perkembangan bisnis tembakau ini kemudian diikuti atau ditunjang kemudian oleh pembangunan sejumlah infrastruktur, seperti jalur kereta api dan kantor pelayanan umum. Hal ini dilakukan untuk mengoptimalisasi operasionalisasi usaha perkebunan tembakau. Bekas-bekas bangunan tersebut masih banyak yang berdiri hingga saat ini, bahkan masih ada yang menjalankan fungsi aslinya kala Medan sudah di bawah kekuasaan Negara Republik Indonesia.
Salah satu dampak dari kemajuan perusahaan tembakau itu adalah pembangunan Kantor Pos Besar Medan. Bangunan kokoh ini berada di sebelah kiri Merdeka Walk, tepatnya di depan Hotel Inna Dharma Deli yang dahulu merupakan Hotel de Boer, dan menghadap menyamping ke arah bekas bangunan Javasche Bank (kini Bank Indonesia) yang berdiri di samping gedung Balai Kota lama. Javasche Bank merupakan bank cabang milik Belanda di Jawa yang digunakan untuk mensosialisasikan mata uang Gulden milik Belanda.
Daerah sekitar Lapangan Merdeka yang dahulu disebut Esplanade (bahasa Belanda), yang berarti lapangan terbuka ini dianggap sebagai titik nol Medan. Berada di sekitar Lapangan Merdeka seakan terlempar ke abad lalu. Daerah ini merupakan salah satu pusat peradaban Medan di masa lalu. Di sekitarnya, paling tidak ada sebelas bangunan tua yang relatif masih utuh seperti saat didirikan.
Tak saja fungsinya yang masih sama, di Kantor Pos Besar ini juga masih tertera pada dinding-dindingnya bermacam-macam tulisan yang menjadi penanda sebuah jaman. Ukiran tulisan ‘ANNO 1911’ di bagian atas samping kiri dan kanan bangunannya pun masih terlihat jelas. Ia menjadi salah satu bukti tahun kelahiran bangunan Kantor Pos Besar.
‘ANNO 1911’ merupakan bahasa yang umum di pakai di Eropa yang berarti ‘Tahun 1911’. ‘Anna Domini’ misalnya, yang populer disingkat AD, merupakan bahasa Italia yang berarti ‘Tahun Tuan Kita’ atau ‘Tahun Masehi’ atau yang umum disebut ‘Masehi’ atau yang disingkat “M”.
Arsitek bangunan bersejarah ini tak lain adalah Snuyf. Dia memulainya pada 1909 dan selesai pada 1911. Dia sendiri merupakan pejabat pekerjaan umum Belanda untuk Kesultanan Deli. Dalam buku Badan Warisan Sumatera Medan, Snuyf disebut sebagai Direktur Jawatan Pekerjaan Umum Belanda untuk Indonesia. Tapi, tentu saja, ini mengherankan lagi menyesatkan. Tak ada Indonesia di Medan pada 1911. Medan belum dikuasai oleh Negara Republik Indonesia di tahun itu. Pun, Negara Republik Indonesia sendiri memang belum ada.
Selain di Deli, Snuyf juga diketahui menjadi arsitek salah satu bangunan bersejarah di Bandung (Jawa Barat) dalam rentang waktu yang tak terlalu jauh, yakni 1914. Begitu pula di Palembang (Sumatera Selatan), dimana Snuyf menjadi arsitek dari bangunan menara air. Di zaman itu, Kerajaan Belanda memang melakukan kerjasama dengan banyak negeri. Dalam perspektif mereka, wilayah operasionalnya disebut Hindia Belanda.
Dalam waktu yang sama dalam membangun Kantor Pos Besar Medan, dibangun juga taman air mancur yang berada di depannya. Akan tetapi, taman air mancur yang ada sekarang bukan lagi taman yang pertama kali dibangun. Menurut catatan Badan Warisan Sumatera Medan, taman tersebut direnovasi oleh Pemerintah Kota Medan pada akhir 2000. Sebagian lantai kolam yang terbuat dari batu granit yang khas, hilang karena dilapisi keramik.
Menuju pintu utama kantor pos, di bagian paling atas dari bangunan utama terdapat ukiran logo merpati pos. Warna kuning logo khas Pos Indonesia tampil dominan dibandingkan keseluruhan bangunan yang berwarna putih. Dulu, ukiran itu tak ada, hanya ada tulisan “Kantor Pos dan Giro” yang terukir di sana. Ukiran-ukiran geometris bergaya tempo dulu ikut menghiasi logo tersebut. Sedangkan di sisi kiri-kanan logo Pos Indonesia terukir terompet khas Belanda dahulu kala.
“Arsitektur kantor pos sedikit berbeda dengan bangunan-bangunan tua lain. Balai Kota (yang lama –red) dan Bank Indonesia masih ada desain klasik yang identik dengan sulur-sulur dan bentuk-bentuk lengkung. Sedangkan di kantor pos kita tidak menemukan lagi sulur-sulur. Arsitekturnya lebih geometris, sudah masuk ke era modern,” jelas Sekretaris Badan Warisan Sumatera, Rika Susanto, dalam suatu perbincangan.
Di Eropa, desain bangunan seperti pada Kantor Pos Besar Medan dikenal dengan nama Arsitektur Modern Fungsional (Art Deco Geometrik). Jenis arsitektur ini merupakan generasi ketiga setelah arsitektur klasik yang hadir sebelum 1910 dan Arsitektur Neo-klasik (Art Deco Ornamental) sebelum 1920. Kedua jenis arsitektur terakhir juga pernah digunakan Belanda dalam pembangunan beberapa bangunan yang mereka kontrak di Medan.
Bangunan bergaya geometris rata-rata dibangun sebelum 1935. Jika melihat waktu berdiri kantor pos pada 1911, diperkirakan ia merupakan bangunan era pertama yang menggunakan arsitektur geometris di Medan. Oleh karena itu juga, tak banyak ditemukan bangunan tua dengan gaya arsitektur serupa di kota ini.
Di ruang tengah, yang disebut vestibule, pada bagian atas tergantung lampu hias antik khas zaman dulu. Lampu setinggi lebih kurang sepuluh meter dan berada pada ketinggian sekitar enam meter dari lantai tersebut masih asli dari zaman Belanda. Di sisi pinggir bawah langit-langitnya terukir beberapa ekor merpati pos dengan desain Belanda kuno, berbeda dengan ukiran merpati pos ciri khas Pos Indonesia.
Salah satu ciri khas bangunan zaman dulu adalah keberadaan langit-langitnya yang lebih tinggi. Begitu pun lampu dan kipas angin yang terpasang dengan pegangan yang panjang, seperti di beberapa ruangan kantor pos. Awalnya, langit-langit vestibule dilapisi dengan kuningan asli. Hanya saja, lapisan itu mengelupas akibat tragedi kebakaran yang sempat menghanguskan sebagian kecil bangunan kantor pos pada Juni 2003. Kebakaran yang disebabkan oleh hubungan pendek arus listrik itu merusak lampu hias dan ornamen di langit-langit. Namun, kerusakan yang terjadi tidak signifikan. Pihak kantor pos sendiri telah mengembalikan seperti bentuk dan warna aslinya.
Di vestibule yang selalu disesaki oleh para orang tua untuk mengambil uang pensiun setiap awal bulan, lantainya juga masih menggunakan keramik asli. Dulu pernah ada orang yang menawar dan ingin membeli keramik tersebut. Akan tetapi, pihak pos tidak mengizinkan, karena itu bagian dari bangunan bersejarah yang harus dilindungi. Oleh Belanda dulu, ruangan vestibule ini dipakai untuk acara-acara mereka.
Di ruangan lain, tepatnya di sebelah kiri vestibule, terdapat tiga pintu baja yang juga bagian asli dari bangunan kantor pos. Pintu baja tersebut sekarang merupakan dinding pembatas antara ruang pelayanan wesel dengan ruang pengiriman paket dan gudang. Satu diantaranya masih difungsikan sebagai pintu hingga saat ini. Cara membukanya adalah dengan ditarik turun-naik dengan rantai, yang merupakan ciri sistem katrol zaman dulu.
Sedangkan di ruang bendaharawan, menurut salah seorang pegawai kantor pos, Alex, juga terdapat peti dan lemari brankas dari baja. Peti dan lemari brankas ini juga merupakan peninggalan Belanda dulu. Seperti halnya satu pintu tadi, fungsi peti dan lemari brankas sebagai lemari penyimpanan masih dipertahankan sampai sekarang untuk operasional kantor pos.
Belakangan, bangunan Kantor Pos Besar Medan menjadi salah satu landmark Kota Medan. Sebagai salah satu bangunan tua, kantor pos menyimpan banyak sejarah tentang perjalanan Kota Medan yang juga dikenal sebagai negeri kosmopolit. Makanya tak heran, banyak juga orang yang mampir ke bangunan tersebut hanya sekedar untuk bernostalgia dengan Deli atau Medan tempo dulu.
Jika waktunya pas, turis-turis tua dari Belanda beberapa kali terlihat di dalam bangunan tersebut. Mereka mengarahkan kameranya ke beberapa bagian gedung. Terkadang, ada juga serombongan pelajar yang berkunjung untuk wisata belajar di kantor pos.
Melihat begitu besarnya nilai sejarah dari Kantor Pos Besar Medan, tentu saja bangunan ini harus dijaga dan dilindungi. Usaha inilah juga yang terus dilakukan oleh Badan Warisan Sumatera. Mereka selalu memantau pengelolaan bangunan kantor pos, serta terus mengadvokasi agar tidak ada pihak yang mengubah bentuk bangunan tersebut, termasuk soal perenovasiannya. Sejauh ini, walaupun pernah dilakukan sejumlah perbaikan pada beberapa bagiannya, kantor pos tidak pernah direnovasi secara besar-besaran.
Salah satu keunikan lain dari bangunan Kantor Pos Besar Medan terletak pada dindingnya. Meski Medan relatif sering dilanda gempa, dinding-dindingnya tidak pernah retak. “Makanya sama sekali gak pernah direnovasi, hanya di cat-cat saja. Itulah bagusnya bangunan jaman dulu,” ujar Alex.
Secara hukum, perlindungan terhadap bangunan-bangunan tua di Medan, termasuk Kantor Pos Besar Medan, sudah diatur dalam Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6/1988 Tentang Perlindungan Bangunan Bersejarah. Bangunan-bangunan tua yang masuk dalam kategori ini adalah bangunan yang sudah berusia lebih dari 50 tahun.
Terkait pengelolaan Kantor Pos Besar Medan sebagai salah satu bangunan tua di Medan, Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (PUSSIS) Universitas Negeri Medan, Ichwan Azhari, mengatakan agar Kantor Pos Besar Medan dijadikan museum. Dia mencontohkan pengelolaan kantor pos di seberang yang dijadikan museum untuk mempertahankan dan menjaga nilai-nilai sejarah dari bangunan tersebut. Sebab jika dipaksakan untuk menampung kegiatan operasional yang semakin padat dari hari ke hari, fisik bangunan bisa saja menjadi rusak.
“Saya hanya bisa beri komentar, gedung itu sekarang sebaiknya dijadikan museum pos. Kantor Pos Jakarta juga dijadikan gedung filateli, bagian dari sejarah pos. Jadi bisa mendatangkan pemasukan juga bagi PT. Pos,” usul Ichwan.
Bangunan Kantor Pos Besar Medan memang memiliki hal menarik dari sejarah. Tak hanya dari usia, tetapi juga dari narasi perkebunan tempo dulu yang menjadi masa keemasan Deli, yang sekaligus melambungkan nama negeri ke Eropa. Selain itu, arsitektur bangunannya juga dianggap lebih menarik dan berbeda dengan banyak bangunan tua lain di Medan. Bahkan, menurut Ichwan, arsitektur Kantor Pos Besar Medan lebih cantik dibandingkan dengan bangunan Gedung Filateli di Jakarta.
Mengenai fungsi pelayanan jasa posnya sendiri, hal itu bisa dilakukan dengan cara memindahkan pelayanan ke tempat lain. Hal seperti ini juga dilakukan terhadap Kantor Pos Jakarta. Namun begitu, hingga sekarang Ichwan mengaku belum pernah mencoba menawarkan usulan ini, baik ke PT. Pos Indonesia maupun Pemerintah Kota Medan.
Selain itu, wacana tentang bangunan bersejarah ini juga perlu dihidupkan. Apalagi, sampai sekarang tak ada yang mengetahui kapan tanggal resmi berdirinya bangunan kantor pos ini. Sama sekali tidak ada catatan mengenai hal tersebut, sehingga tak bisa dipastikan kapan hari jadinya. Bahkan, pihak Kantor Pos Besar Medan sendiri juga tak mengetahui tanggal pasti kapan bangunan ini berdiri. Barangkali, yang mengetahui adalah pihak yang membuat bangunan itu di Tanah Deli, yakni Belanda.
Jika sudah diketahui, tentu tanggal tersebut dapat dijadikan sebagai hari jadi Kantor Pos Besar Medan yang diperingati setiap tahunnya. Dengan demikian, maka ingatan akan kejayaan tanah negeri Melayu ini takkan pernah lekang meski generasi terus berganti. Masyarakat takkan menjadi ‘layang-layang putus’ kala menyaksikan keriuhan kantor pos yang kian semrawut dari hari ke hari.
0 Response to "Kantor Pos Medan Warisan Sumatera Utara"
Post a Comment