Etnis Mandahiling yang sering pula didialekkan Mandailing, adalah ‘suku bangsa’ (orang Mandailing menyebutnya Bangso Mandailing) yang mendiami 3 Provinsi di Pulau Sumatera, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau di Indonesia. Orang Mandailing di Provinsi Sumatera Utara berada di Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padang Lawas,Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Utara,Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Kabupaten Asahan dan Kabupaten Batubara sedangkan di Provinsi Sumatera Barat berada padaKabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat, dan di [[Provinsi Riau}} berada di Kabupaten Rokan Hulu. Pada awal masa penjajahan Belanda, kesemua wilayah Mandailing awalnya masuk dalam Karesidenan Mandahiling atau Residentee Mandahiling di bawah Sumatra’s West Kust Gouvernement atau Gubernuran Pesisir Barat Sumatera, bersama-sama Karesidenan Padang Laut(Padang Lauik) dan Karesidenan Padang Darat (Padang Darek).
Ketika Kesultanan Barus berhasil dikuasai Belanda (Setelah perjanjian di London Tracktaat Londonsche antara Kerajaan Inggrisdan Kerajaan Belanda, yang menukar guling wilayah Sumatera bagian utara yang awalnya diklaim Inggris dan wilayah Kalimantan bagian utara yang awalnya telah dikuasai Belanda), termasuk Afdeeling Tanah Batak (Negeri Toba dan Negeri Silindung), yang kalau itu berada di bawah Kesultanan Aceh, Karesidenan Mandailing dihapuskan. Sebagian wilayah Mandailing digabungkan dalam wilayah Karesidenan Tapanuli yang berpusat di Tapian Na Uli (Tapanuli) di Barus, namun tetap dalam West Kust Sumatra’s Gouvernement. Sementara itu wilayah Lubuksikaping (Pasaman dan Pasaman Barat) masuk dalam Karesidenan Padang Darat dalam West Kust Sumatra’s Gouvernement, dan wilayah Tambusai (Rokan Hulu) masuk dalam wilayah Riaw Gouvernement. Di lain pihak sebagian lagi wilayah Mandailing masuk dalam Oost Kust Sumatra’s Gouvernement atau Gubernuran Pantai Timur Sumatra, yaitu wilayah Labuhanbatu, Asahan dan Batubara. Wilayah Mandailing yang masuk dalam Karesidenan Tapanuli adalah Mandailing Natal, Mandailing Angkola, Padangsidempuan, dan Mandailing Padanglawas.
Semenjak berdiri Karesidenan Tapanuli, ibukota Mandailing di kota Padangsidempuan dipindahkan secara berganti-ganti antara Kota Tapanuli dan Kota Padangsidempuan. Ketika masih Karesidenan Mandailing, ibukotanya pertama kali di Air Bangis sehingga dikenal sebagai Karesidenan Air Bangis, kemudian pindah ke Kotanopan, lalu ke Kota Panyabungan dan terakhir adalah Kota Padangsidempuan. Wilayah Karesidenan Mandailing inilah yang disebut sebagai wilayah Kesultanan Mandailing dengan sultan terakhirnya adalah Raja Gadumbang (Lubis Nasution). Setelah itu, pemerintahan Mandailing terpecah belah dalam beberapa Kuriayang dibentuk oleh Belanda dalam rangka Devide et Impera, hingga mencapai 50 Kuria. Kuria sendiri berasal dari Bahasa Arab, yaitu ‘Qurya’ yang berarti ‘negeri’, yang sering dipakai istilahnya dalam pemerintahan Darul Islam Minangkabau selama masaperang Paderi untuk menggantikan istilah ‘nagari’ atau ‘negeri’.
Wilayah Kesultanan Mandailing dikenal juga sebagai Kesultanan Pagaruyung Utara, yang dahulu terpecah akibat turun tahtanya Raja Pagaruyung Daulat Yang Dipertuan Raja Naro pada awal abad ke-19, yang digantikan Daulat Yang Dipertuan Muningsyah II oleh Baso Nan Ampek Balai (4 raja yang merupakan pengawas tahta raja-raja Pagaruyung secara turun menurun menurut adat), yang berlanjut dengan Perang Paderi. Namun perpecahan ini sudah disatukan semenjak Anwar Nasution yang mewakili pihak Kesultanan Pagaruyung Utara yang berpusat di Aek Na Ngali (Aia Madingin) di Batang Natal, – beberapa tahun lalu -, diundang pihak keluarga Kesultanan Pagaruyung (Selatan) di Batusangkar untuk kembali bersatu, setelah 200 tahun terpecah kongsi akibat perang saudara.
0 Response to "Sejarah Kesultanan Mandailing"
Post a Comment